Andai
yang lalu tak pernah berlalu, aku ingin diam tanpa melakukan apa-apa. Banyak
orang berkata jika aku terlalu banyak bermimpi tentang bagaimana menghentikan
waktu. Mereka yang biasanya mengatakan itu menganggap bahwa masa lalu hanya
meninggalkan kenangan dan bagi mereka yang sedikit bijak mengatakan bahwa masa
lalu adalah hikmah. Mendengar tuturan mereka aku terdiam. Entah menyetujuinya
atau tidak.
Andai
waktu bisa ku lenyapkan. Aku tak pernah peduli lagi dengan segala kesalahanku.
Aku juga tidak pernah peduli dengan kesalahan orang-orang di sekitarku
kepadaku. Ketika itu benar-benar terjadi, tak akan ada lagi suara-suara di
kepalaku yang berkoar-koar membunuhku. Tapi, kapan sebenarnya aku bisa melenyapkan
waktu ?.
“Wahai
waktu, kapan aku bisa membunuhmu?”, lagi-lagi ku ungkapkan bualan bodoh untuk menanyakan waktu yang tepat untuk membunuh
waktu.
Seandainya
ku temukan sebuah mesin raksasa yang berkuasa seperti dewa yang bisa melawan
lajur waktu, tentu akan kuhancurkan kuasa waktu yang menundukan kenangan, yang menghamparkan
kehidupan. Tentu saja aku juga bisa melenyapkan semua sejarah yang tertulis
dengan darah-darah korban perang. Sehingga tidak ada lagi cerita-cerita yang
terpendam dalam benak perihal kekejaman.
“Apa
kau pernah mendengar cerita tentang Pembunuh Waktu?”, Tanyaku lirih.
“Ternyata
kau tak berubah Rio. Kau masih percaya dengan mitos yang menyeruak menuju ke
telinga orang-orang putus asa itu.” Jawab teman masa kecilku.
Cerita
itu tentu terdengar tak masuk akal pada zaman seperti ini. Teman lamaku juga
punya pemikiran seperti itu. Dia yakin bahwa cerita Sang Pembunuh Waktu
hanyalah mimpi di siang bolong milik orang-orang putus asa. Cerita itu hanya
menarik untuk orang-orang yang menganggap bahwa masa depan hanyalah mitos. Hanya
dianut orang-orang yang meniadakan wujud dan arti masa depan yang mungkin juga adalah
aku.
Mendengar tanggapan ini aku tak merasa kaget.
Pemikiran seperti itu sebenarnya juga ada dalam kepalaku. Aku juga yakin jika
waktu tak pernah bisa dibunuh. Bahkan pada zaman ketika waktu sehari bisa
diganti satu menit, ketika perjalanan antar benua tak lebih memakan waktu
setengah jam seperti saat ini, tak ada yang bisa membunuh waktu agar dia
berhenti melaju. Waktu hanya bisa diringkas, diganti dengan yang lebih singkat.
Tapi anaggapan ini hanya menguasai tak lebih dari setengah bagian pikiranku.
Sebagian lagi sisanya dipenuhi oleh bayang-bayang sosok Pembunuh Waktu.
Hari demi hari
habis karena sebuah lamunan. Dalam kamar tanpa jendela yang lebarnya hanya empat
kali tiga meter aku termangu-mangu. Pandanganku hanya tertuju kepada langit-langit
kamar yang menjadi kelabu karena waktu. Di langit-langit itulah imajiku
terlepas bebas tanpa terkurung logika. Segala yang tak mungkin menjadi mungkin.
Segala yang tertahan sekarang lepas sampai tak ada lagi batas antara yang nyata
dan yang mimpi.
“Kita akan
bermain kartu lagi semalaman sampai pagi.”
“Tidak, aku
lebih suka bermain di pasir pantai seharian”
“Ya ya ya, akan
ku bawakan pancingan jika kita pantai”
“Kenapa kita
tidak berpiknik ke taman di pinggir danau saja?”
Mereka semua,
teman-temanku tanpa wajah yang mengisyaratkan sebersit kesedihan atau sesunyi
kekosongan seperti kehidupan yang telihat oleh mataku saat ini. Tak ada apapun
di wajah mereka . Ryan yang pandai meramu kopi malah mengajak bermain kartu
setelah sebulan yang lalu ditemukan tewas dengan tiga peluru kaliber 7 mm di
dadanya. Tapi aku lebih sependapat dengan Arga dan Aryo untuk bermain pasir
sambil mengibaskan joran di tepi pantai
tak peduli seberapa gosong kulit dibuatnya. Meskipun mereka berdua ku temukan tak
bernyawa dengan tubuh memar dua minggu yang lalu, mereka tetap tersenyum
kepadaku seolah mereka juga tahu jika aku sepakat dengan rencana mereka. Arin,
gadis manis yang gemar menulis puisi memilih berlibur ke daerah yang tenang nan
sepi seperti pinggiran danau. Di danau itu kami sering mendengar syair-syair
tentang perang dan cinta bahkan tentang kematian yang menggetarkan dari
bibirnya, yang menggiring kami ke sebuah alam lain yang tercipta dari
bahasanya. Entah, dari mana Arin tiba-tiba muncul sekarang setelah ku dengar
berita jika Arin mati dengan luka sayatan benda tajam di leher kemarin. Apakah
Arin datang dari alam lain yang terajut dari syair-syairnya itu?
“Bagaimana
dengan kita Rio?”
Dia
memandangku dalam-dalam, seperti dia tak akan lagi bertemu denganku. Aku
terdiam. Ryan, Arga, Aryo dan Arin cuma tersenyum menunggu jawabanku. Setahun
setelah kepergiannya meninggalkanku ternyata dia kembali hanya dengan kata-kata
itu. Apakah dalam kerinduan selama setahun lebih, tak cukup menciptakan berlembar-lembar
kata rindu kepadaku?. Aku tahu dia tak pandai merangkai kata-kata seperti Arin.
Tania lebih suka memendam perasaannya dalam diam. Bahkan dia hanya diam dalam
pertemuan terkahir ketika ayahnya yang tertuduh sebagai penyebab perang saudara
ini memutuskan untuk meninggalkan kota, bersembunyi entah kemana. Tak ada yang
dia berikan selain pandangan sayu yang seolah mengatakan bahwa dia tak ingin keadaan
merenggut segalanya.
“Prrrrrrrrrrreeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet”
“Tunggu!,
kemana kalian pergi ?”
Bersambung...
Sumber gambar : http://www.mymodernmet.com
0 komentar:
Posting Komentar