Semua orang punya mimpi. Jadi terkadang aku bertanya
kepada orang di sekitarku tentang mimpi mereka. Mereka
terkadang cuma diam. Ada yang menjawab dengan sungguh-sungguh. Ada juga yang menjawab setengah bergurau.
Entah apa mimpi mereka yang sebenarnya.
Aku hanya ingin bertanya .
Keinginanku untuk mengetahui mimpi orang-orang di
sekitarku pertama kali ku utarakan kepada teman senasib sepenanggungan di SMK.
Ketika itu kami "dolan" ke pantai. Bermaksud menghindar dari masalah
di sekolah yang bersamaan menimpa kami. Di pantai itu kami saling bercerita
tentang permasalahan di sekolah menurut sudut pandang masing-masing. Kami juga
bercerita tentang permasalahan yang ada dalam keluarga kami. Lama aku bercerita
tentang masalah yang ada dalam keluargaku, iseng-iseng aku bertanya padanya.
"Koe punya mimpi to?"
"Mimpi, mimpi yang seperti apa?Aku punya mimpi kalau
tadi malem. Nanti malem pas tidur aku juga punya mimpi lagi". Dia menjawab
dengan nada yang ngawur.
"Ini bukan
ngipi kembange tidur. Maksudku mimpi yang jadi angen-angenmu
nanti di masa depan. Cita-citamu. Harapanmu-lah poko'e?."Aku bertanya dengan serius.
"Lek
koe opo
?." Dia malah balik bertanya kepadaku.
"Ehmmmmmm...,
aku pengen buka Warnet. Nggak cuma satu warnet saja. Aku pengen
buka lima cabang. Yang empat ku buka dekat sekolahan biar rame. Nah, yang satunya lagi ku buka di rumahku
sendiri dengan komputer yang servernya berspesifikasi tinggi. Jadi ketika aku
berjaga di warnet, aku bisa main game kualitas tinggi sak penakku dewe.” Aku menjawabnya dengan
asal-asalan dengan ide yang tiba-tiba tersangkut di kepala.
"Ngipi
ae leeeee..!!!. Tinggi banget mimpimu itu".
"Mosok segitu
saja udah tinggi?. La mimpimu opo emange?" Aku terheran dengan apa yang ku dengar sekaligus penasaran
dengan impiannya.
"Kita
sekarang sekolah di SMK. Gak ada dua tahun lagi kita lulus. Teman-teman kita
yang cewek bakal banyak yang dimantu. Kamu mungkin bisa kuliah. Kalau aku ya
kerja. Cari duit." Sekarang raut mukanya yang serius jelas terlihat.
Suara debur ombak yang
menyapu pasir pantai kian jelas terdengar. Begitu pula desau angin yang semula
hanya seperti berbisik sekarang menjadi riuh. Aku hanya bisa terdiam mendengar
kata-katanya sembari memandang langit tempat mimpi-mimpiku bersembunyi. Di
antara bunyi pantai yang sedang pasang itu aku tak ingin mengucap apa-apa. Ku
pikir mimpiku akan aman jika tak ku ungkapkan padanya. Jika ku ceritakan mimpiku
yang sebenarnya, dia pasti akan menjawab dengan jawaban yang sama : "Ngipi
ae leeeee..!!! ”. Dibandingkan mimpi yang berada di
benaknya, mimpiku pasti lebih tinggi dan keadaanku sekarang tidaklah mungkin
untuk meraihnya.
Ngipi ae
leeeee..!!! . Kata-kata kawanku di hari itu terus terdengar dikepalaku.
Bahkan begitu membekas. Sampai membuatku bertanya-tanya pada diri sendiri. “Apakah
aku cuma pemimpi?”
Beberapa minggu kemudian aku serasa tenggelam ke
dalam keraguanku sendiri. Cuma sebaris kalimat dengan tiga kata. Tetapi entah
kenapa seperti beribu-ribu baris yang terdengar dan entah kenapa cukup dengan
tiga kata itu sudah membuatku tak berdaya. Semangatku meredup. Memang tidak
pantaskah aku bermimpi ?.
Sampai pada suatu ketika ku rebahkan tubuhku pada
ujung malam. Malam itu bukanlah malam yang muram seperti sebelumnya. Diterangi
lampu tidur yang remang pikiranku berkelana kemana-kemana. Hingga sebuah
pertanyaan hinggap di kepalaku.“Kenapa dia bisa berkata seperti itu?”
Semuanya buyar. Tiga kata
itu kehilangan kesaktiannya setelah pikiranku singgah kepada suatu bayangan
masa lalu. Masa lalu yang membuatku mengerti kenapa dia hanya bisa pesimis di
masa depan.
“Seperti inilah hidup kami le...., pagi-pagi
kami harus ke ladang. Sore nanti jam empat kami pulang sambil membawa rumput
untuk si kambing.” Ibu kawanku menatap dengan penuh sahaja.
“Ladangnya di mana to bu ?” Aku berusaha
melembutkan tutur kata.
“Ya di sana itu.” Sambil menunjuk sebuah bukit
yang tak jauh dari rumahnya.
Aku teringat dengan
keadaan keluarganya yang menurutku serba kekurangan. Rumahnya tampak monoton. Berwarna
kelabu tanpa goresan cat pada dinding. Tak ada bunga yang tertanam di
pelataran. Yang terlihat hanya kerikil yang disebar untuk menahan lumpur yang
becek. Ibu dan ayahnya bekerja di ladang sebagai petani biasa. Kawanku sering
membantunya meski dengan perasaan keberatan. Antara rumah dan ladangnya memang
tak jauh tapi jalannya menanjak. Belum lagi jika musim hujan tiba. Jalan yang
menanjak itu bertambah licin.
“Kalau cah
enom disini kerjanya apa aja?” tanyaku kepada kawanku.
“Di sini cah enomnya kerja jadi kuli
bangunan kalau gak kepingin lungo ke luar negri. Ada juga yang kerja di
Surabaya, tapi menurutku lebih baik kerja di sini. Di Surabaya semuanya serba mahal.”
Kembali ku tatap lampu remang yang menambah hangat
malam renunganku. Lampu remang yang menemaniku menulis cerita ini. Sampai di
sini aku menjadi mengerti kenapa kawanku dulu begitu tak peduli dengan mimpi.
Dia mungkin saja punya mimpi menjadi gitaris band atau menjadi bintang iklan
atau profesi lain yang dulu sempat ia kagumi. Mimpi itu mungkin saja pernah
bersembunyi di langit tempat mimpiku bersembunyi. Namun semuanya itu cuma mimpi
ketika dia memandang orang tuanya yang setiap hari hanya bekerja di ladang, para
pemuda di sekitarnya yang menjadi kuli
bangunan setelah lulus SMA dan teman-temannya yang nekat bekerja ke luar
negeri. Mimpinya yang setinggi langit itu perlahan jatuh ke tanah sempit tempat
dia tinggal.
Sebenarnya aku ingin bertanya kepada kawanku
tentang mimpi ketika kami bertemu kembali. Aku ingin tahu apakah dia sekarang sudah
punya mimpi atau dia sudah meraih impiannya. Dan akhirnya pada tanggal 23
oktober yang lalu dia mengabariku untuk menemaninya Ijab Qobul. Di saat
itu juga aku ingin bertanya tentang mimpi lagi. Sayangnya setelah tiba di
rumahnya aku menjadi ragu. Aku merasa itu bukan waktu yang tepat untuk bertanya
soal mimpi. Karena sego rames dan jajanan bolak balik bersliweran
di depanku.
Trenggalek, Jumat, 01 Nopember 2013
0 komentar:
Posting Komentar