Pages

Rabu, 24 September 2014

Rizki, sebuah nama yang membanggakan




 “Met malem, boleh kenalan gak?” tulisku di HP untuk berkenalan
“Boleh,” balas Lina
“Namaku Rizki.”
Rizki, itulah namaku. Tetapi sampai sekarang Lina tak membalas. Aku berkesimpulan Lina seperti yang lain, yang menganggap namaku adalah nama pasaran yang kurang keren. Aku frustasi, ku pikir tiada lagi yang bisa menerimaku apa adanya.
Namun frustasiku lekas sirna sampai ku temukan Ingrid, adik kelas yang tulus menerimaku dan tentu bangga dengan namaku. Dia cantik. Tetapi manusia tiada yang sempurna. Ingrid punya hobi menggosip. Tak apa, aku tetap mencoba tulus menerimanya seperti dia menerimaku. Pernah tanpa sepengetahuannya aku memergokinya bercengkrama di sebuah cafe.
“Tuhan mengirimkan rizki-Nya kepadaku,” Ingrid menyebut namaku
“Alah, jangan ngomong soal rejeki lagi!” Temannya menyela
“Beneran lo, dia adalah ‘rizki’ untuk aku. Lihat, Rizki udah beli’in aku BB. Rizki juga yang bayarin setoran kredit motor baruku.” Tutur Ingrid yang membuatku tak percaya lagi dengan cinta yang tulus.

Rabu, 10 September 2014

Hentikan !


 
"Ausweglos," by Romy Campe (2006), sumber : Klik ini untuk membuka sumber gambar


Hentikan...

Setiap langkah yang membelit hati
.
Hentikan...

Sebuah kesempurnaan bertumbal rasa.

Tolong...

Dari sini, entah dari mana.

Berseru...

Mungkin dari kegelapan karena dalamnya.

Kata-kata...?

Bukan, engkau akan tahu jika sepadan.

Selasa, 09 September 2014

Pembunuh waktu




                Andai yang lalu tak pernah berlalu, aku ingin diam tanpa melakukan apa-apa. Banyak orang berkata jika aku terlalu banyak bermimpi tentang bagaimana menghentikan waktu. Mereka yang biasanya mengatakan itu menganggap bahwa masa lalu hanya meninggalkan kenangan dan bagi mereka yang sedikit bijak mengatakan bahwa masa lalu adalah hikmah. Mendengar tuturan mereka aku terdiam. Entah menyetujuinya atau tidak.
                Andai waktu bisa ku lenyapkan. Aku tak pernah peduli lagi dengan segala kesalahanku. Aku juga tidak pernah peduli dengan kesalahan orang-orang di sekitarku kepadaku. Ketika itu benar-benar terjadi, tak akan ada lagi suara-suara di kepalaku yang berkoar-koar membunuhku. Tapi, kapan sebenarnya aku bisa melenyapkan waktu ?.
                “Wahai waktu, kapan aku bisa membunuhmu?”, lagi-lagi ku ungkapkan bualan bodoh untuk  menanyakan waktu yang tepat untuk membunuh waktu.
                Seandainya ku temukan sebuah mesin raksasa yang berkuasa seperti dewa yang bisa melawan lajur waktu, tentu akan kuhancurkan kuasa waktu yang menundukan kenangan, yang menghamparkan kehidupan. Tentu saja aku juga bisa melenyapkan semua sejarah yang tertulis dengan darah-darah korban perang. Sehingga tidak ada lagi cerita-cerita yang terpendam dalam benak perihal kekejaman.
                “Apa kau pernah mendengar cerita tentang Pembunuh Waktu?”, Tanyaku lirih.
                “Ternyata kau tak berubah Rio. Kau masih percaya dengan mitos yang menyeruak menuju ke telinga orang-orang putus asa itu.” Jawab teman masa kecilku.
                Cerita itu tentu terdengar tak masuk akal pada zaman seperti ini. Teman lamaku juga punya pemikiran seperti itu. Dia yakin bahwa cerita Sang Pembunuh Waktu hanyalah mimpi di siang bolong milik orang-orang putus asa. Cerita itu hanya menarik untuk orang-orang yang menganggap bahwa masa depan hanyalah mitos. Hanya dianut orang-orang yang meniadakan wujud dan arti masa depan yang mungkin juga adalah aku.
 Mendengar tanggapan ini aku tak merasa kaget. Pemikiran seperti itu sebenarnya juga ada dalam kepalaku. Aku juga yakin jika waktu tak pernah bisa dibunuh. Bahkan pada zaman ketika waktu sehari bisa diganti satu menit, ketika perjalanan antar benua tak lebih memakan waktu setengah jam seperti saat ini, tak ada yang bisa membunuh waktu agar dia berhenti melaju. Waktu hanya bisa diringkas, diganti dengan yang lebih singkat. Tapi anaggapan ini hanya menguasai tak lebih dari setengah bagian pikiranku. Sebagian lagi sisanya dipenuhi oleh bayang-bayang sosok Pembunuh Waktu.
Hari demi hari habis karena sebuah lamunan. Dalam kamar tanpa jendela yang lebarnya hanya empat kali tiga meter aku termangu-mangu. Pandanganku hanya tertuju kepada langit-langit kamar yang menjadi kelabu karena waktu. Di langit-langit itulah imajiku terlepas bebas tanpa terkurung logika. Segala yang tak mungkin menjadi mungkin. Segala yang tertahan sekarang lepas sampai tak ada lagi batas antara yang nyata dan yang mimpi.
“Kita akan bermain kartu lagi semalaman sampai pagi.”
“Tidak, aku lebih suka bermain di pasir pantai seharian”
“Ya ya ya, akan ku bawakan pancingan jika kita pantai”
“Kenapa kita tidak berpiknik ke taman di pinggir danau saja?”
Mereka semua, teman-temanku tanpa wajah yang mengisyaratkan sebersit kesedihan atau sesunyi kekosongan seperti kehidupan yang telihat oleh mataku saat ini. Tak ada apapun di wajah mereka . Ryan yang pandai meramu kopi malah mengajak bermain kartu setelah sebulan yang lalu ditemukan tewas dengan tiga peluru kaliber 7 mm di dadanya. Tapi aku lebih sependapat dengan Arga dan Aryo untuk bermain pasir sambil mengibaskan joran  di tepi pantai tak peduli seberapa gosong kulit dibuatnya. Meskipun mereka berdua ku temukan tak bernyawa dengan tubuh memar dua minggu yang lalu, mereka tetap tersenyum kepadaku seolah mereka juga tahu jika aku sepakat dengan rencana mereka. Arin, gadis manis yang gemar menulis puisi memilih berlibur ke daerah yang tenang nan sepi seperti pinggiran danau. Di danau itu kami sering mendengar syair-syair tentang perang dan cinta bahkan tentang kematian yang menggetarkan dari bibirnya, yang menggiring kami ke sebuah alam lain yang tercipta dari bahasanya. Entah, dari mana Arin tiba-tiba muncul sekarang setelah ku dengar berita jika Arin mati dengan luka sayatan benda tajam di leher kemarin. Apakah Arin datang dari alam lain yang terajut dari syair-syairnya itu?
“Bagaimana dengan kita Rio?”
Dia memandangku dalam-dalam, seperti dia tak akan lagi bertemu denganku. Aku terdiam. Ryan, Arga, Aryo dan Arin cuma tersenyum menunggu jawabanku. Setahun setelah kepergiannya meninggalkanku ternyata dia kembali hanya dengan kata-kata itu. Apakah dalam kerinduan selama setahun lebih, tak cukup menciptakan berlembar-lembar kata rindu kepadaku?. Aku tahu dia tak pandai merangkai kata-kata seperti Arin. Tania lebih suka memendam perasaannya dalam diam. Bahkan dia hanya diam dalam pertemuan terkahir ketika ayahnya yang tertuduh sebagai penyebab perang saudara ini memutuskan untuk meninggalkan kota, bersembunyi entah kemana. Tak ada yang dia berikan selain pandangan sayu yang seolah mengatakan bahwa dia tak ingin keadaan merenggut segalanya.
“Prrrrrrrrrrreeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet”
“Tunggu!, kemana kalian pergi ?” 


 Bersambung...



Sumber gambar : http://www.mymodernmet.com
 

Kamis, 02 Januari 2014

Aku dan Langit





Aku sedang menatap langit dari dermaga pantai ini. Rasanya seperti bernostalgia pada masa-masa yang telah berlalu. Tak ada yang terlihat begitu aneh dengan langit. Setiap kali ku tatap sama seperti biasanya, sama seperti gambaran langit yang lalu,  biru seperti laut , penuh dengan goresan mendung yang tak beraturan dan terkadang mengepul kelabu. Aku mungkin tak pernah bertanya kepada diriku sendiri sebelumnya, kenapa langit yang begitu apa adanya dapat mengalihkan pandanganku ?. Bukan masalah jika kodrat si langit berada di atasku. Bukan masalah juga jika si langit adalah batas pandang manusia. Tetapi apa?, apa yang membuatnya begitu menarik perhatianku?. Langit, sekarang engkau bagai menjadi misteri baru bagiku.
Hamparan langit yang penuh misteri bagai sebuah pita rekaman yang mengabadikan kenangan. Di gunung itu, seperti yang biasa ku lewati untuk sampai di pantai. Tetapi ini gunung yang lain, yang tak mungkin terlihat dari sudut manapun dari pantai ini. Masih jelas motif kotak-kotak baju lusuh yang ku pakai ketika ku kejar teman-temanku yang jauh di depan. Di jalan aspal menanjak yang rontok karena digerogoti laju air hujan langkahku terasa begitu berharga, hingga ku dekap pundak salah satu dari mereka.
“Hei tunggu, jangan cepat-cepat”
“Lah kau itu,  musti yang paling lambat”. Dia ulurkan tangan kanannya sambil menarik tanganku yang tadi menempel di pundaknya. 
“Tadi aku cuma sempat makan roti bolang – baling, habis gitu langsung lari ke sekolah bwat ketemu kalian. ”
“Makanya, kalau mau naik gunung makan malemnya dibanyakin. Sebelum subuh kami sudah menunggumu ki, kamu nongolnya baru jam 5.”
“Kan harus Sholat dulu”
“Kami nunggu kamu di sekolah sambil sholat subuh berjama’ah di Mushola. Tapi ya sudahlah,  nyampe di sini masih gelap. Dari atas nanti kita masih bisa lihat matahari terbit.”
Di jalan kami lincah bersenda gurau. Langkah kami terasa begitu ringan. Tak ada apapun beban yang mengganjal. Aku melompat kegirangan. Temanku sampai bersalto. Bukan karena tubuh kami waktu itu masih mungil dan ringan, tetapi mungkin karena kepala kami masih kosong. Tanpa beban apa pun. Setinggi apapun gunung itu, sejauh apapun langkah yang kami tapaki tak ada lelah yang begitu berarti. Rasanya seperti bermain seluncuran di taman sekolah. Meski itu bukan Gunung Bromo, perjalan di gunung waktu itu begitu menyenangkan. Dalam ketidaktahuan kami merasa merasa memiliki dunia ini. Dalam ketidaktahuan kami tertawa-tawa.
Lindap cahaya matahari mulai terlihat dari timur. Langit yang gelap berganti warna menjadi biru tua. Kumpulan gunung di kejauhan terlihat hitam seperti siluet. Kami tak mau ketinggalan. Kami berlarian menuju puncak yang lapang di atas sana. Melewati rimbun pepohonan kami semakin percepat langkah kami. Sinar matahari sudah terlihat menelisik semak belukar dan barisan bambu yang membentuk garis-garis lurus menyilaukan.
Dan akhirnya.............
“Ha ha ha, kita sampai”
“Belum keitinggalan”
“Matahari, aku sudah siap”
“PR Matematika kemarin belum kita kerjakan, nanti di kerjakan di rumah Eko ya?”
“Ogah, kan masih lama, hari kamis baru dikumpulkan”
“Kita hitung yaa!!, satuuuuuuuuu...........”
Tak ada yang berhenti bersorak kegirangan. Di tempat lapang itu lelah oleh langkah seperti begitu saja terganti oleh sejuk yang mengisi dada kami. Seorang teman merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau setinggi lutut yang basah karena embun. Yang lain hanya duduk dengan kaki terlentang untuk mencegah saluran darah mereka menonjol menjadi penyakit Parises seperti nasehat Bu Guru kemarin. Aku memilih bersila seperti seorang Jagoan sakti di TV yang sedang bertapa.
Angin pagi lembut menghempas keringat kami, mengubah tawa menjadi damai yang berisi keheningan. Wajah-wajah polos itu sekarang mulai menengadah melihat langit. Langit yang hampir selalu sama ketika ku pandang seperti langit di pantai saat ini. Pada langit yang tetap membisu itu mereka bertanya-tanya. Anak-anak lugu yang belum tahu perkara di sekitarnya, anak-anak yang  masih belum mengerti bagaimana orang tua mereka mencari pinjaman untuk mengisi kantong jajan mereka dan  anak-anak yang belum pernah bertanya dari mana asal muasal ilmu yang sedang mereka pelajari di sekolah ini bergumam sendiri-sendiri. Entah sekedar membatin atau sampai terdengar oleh teman disampingnya. Mungkin waktu itu menurut mereka langit bisa berbahasa dan langit bisa berpikir untuk menjawab gumaman mereka. 
“Rasanya kayak di film-film ya?”
“Iya, kayak di Film india.”
“Bukan, ini seperti tempat bertarung Power Rangers kemarin.”
“Iya, mirip. Aku juga nonton yang kemarin”
“Kapan ya kita bisa kumpul lagi kayak gini?.”  Seorang teman disampingku bertanya dengan pertanyaan yang tak biasa. Seolah-olah kebersamaan ini tak bisa terulang kembali.
“Alaaaaah, minggu depan nanti juga masih bisa.” Seorang teman perempuan menjawab.  Seperti yang sudah ku katakan tadi, tak ada sedikit pun beban yang mereka rasakan sehingga mereka menganggap jika mengulang sebuah pertemuan itu bukan hal yang mustahil.
“Benar ya, besok kita kumpul lagi. Sekalian bawa jajanan biar kita betah disini.” Teman yang disampingku tadi mencoba meyakinkan. Tampaknya dia begitu ragu dengan pertemuannya di waktu yang akan datang. Aku begitu mengenalnya. Dia teman dekatku dan masih punya hubungan darah denganku. Dia sama sepertiku, seperti tak ingin melepaskan kebersamaan ini. Terganti oleh perpisahan.
“Ki, mau nerusin kemana kamu nanti ?” Teman dekatku itu ganti bertanya kepadaku
“Gak tahu. Masih lama, kita kan masih kelas lima.”
“Nanti sama aku ya?”
“Ya pastiilah. Kita bakal jadi satu SMP.” Aku yang polos juga masih berkata dengan mudahnya waktu itu. Dan mulai saat itulah aku menyukai langit. Langit bagiku seperti kekuatan baru. Dari mana si Langit memberiku kekuatan? Aku tak pernah tahu. Jika aku menginginkan kekuatan langit, aku tinggal memandangnya saja.
“Apa itu yang di plastik hitam?:” Aku melihat seorang temanku mengeluarkan bungkusan dari tasnya.
“Ini titipan dari si mbah. Bwat camilan katanya.” Dia menyodorkan bungkusan yang ternyata berisi buah salak itu ke tengah kerumunan.
“yesssss......., mbok gitu. Lain kali bawa yang banyak ya. ”
“Udah di beri masih minta nambah.”
“hahahahahahahahahahahahahahaha”
Diselingi suara-suara kicauan burung yang bebas mengepakan sayapnya seperti halnya kami yang bebas bagai burung, kami tertawa kegirangan. Kami merasa seperti inilah hidup. Seperti inilah selayaknya semua anak di ujung dunia manapun. Seperti nasihat Guru-guru kami yang menjadikan kami anak yang baik dan yang tidak sesuai dengan nasihatnya kami anggap jelek. Ketika waktu berganti, selamanya kami akan tetap seperti ini. Kami menganggap bahwa dunia ini hanya berupa hitam dan putih. Tidak ada dunia yang kelabu. Kami tidak pernah tahu bagaimana kerumitan dalam hidup yang mungkin suatu saat nanti akan merubah kami menjadi seseorang yang berbeda. Menjadikan kami seseorang yang tak pernah terfikirkan sekarang, di tempat ini, di ujung gunung ini. Kami tidak pernah tahu bagaimana jalan masing-masing yang akan kami tapaki. Mungkin saja seperti jalan menuju ujung gunung ini. Begitu terjal, begitu indah, begitu kami nikmati. Tetapi jalan itu mungkin jalan yang lain dan itu mungkin bukan jalan menuju ujung gunung ini. Mungkin jalan itu menuju tempat yang lain yang saat itu sedang kami anggap tempat yang salah bahkan tempat yang menjijikan sekalipun.
Aku juga masih naif. Ku kira semuanya tetap akan sama, tetap ada pundak yang bisa kuraih dan seseorang mengulurkan tangannya kepadaku. Selalu terbayang mereka akan di sampingku. Bersama-sama mendaki gunung yang sama pada jalan yang sama pula. Saat itu kubayangkan mereka dengan seragam SMA dan tampang mereka yang sudah tidak lucu lagi akan kembali menatap langit dan bertanya lagi  “Kapan ya kita bisa kumpul lagi kayak gini?”. Dan mereka serempak menjawabnya “besooooook saja!!!”. 
Langit berubah. Mendung terkumpul tepat diatas kami. Entah apakah begini cara langit berbahasa. Apakah dengan ini langit menjawab pertanyaan kami yang sesungguhnya tak pernah terjawab. Kami lanjut membersihkan baju kami yang dipenuhi oleh rerumputan dan tanah di bawah kami. Lalu kami putuskan untuk turun dari gunung itu. Di jalan kami berpisah menuju rumah masing-masing.
 Aku tak pernah menyangka akan terus mengingat kenangan itu karena aku tak tahu jika itu adalah kenangan indah terakhir yang pernah kami buat sebagai anak yang masih polos. Kenangan yang  kami buat tanpa niat untuk mengabadikannya dengan kamera. Gambar-gambar tentang kebersamaan itu kami biarkan berterbangan sampai kemanapun dan tak pernah kembali.
Selang satu tahun acara perpisahan pun digelar. Seseorang dari kami mengisi lagu. Aku lupa apa judulnya. Dengan lagu itu semua anak sekelas menangis, termasuk aku. Seperti semua tak akan bertemu lagi saja. Bodoh sekali jika aku ikut menangis. Mereka kan sudah berjanji akan berkumpul lagi. Tapi mungkinkah itu?
Hari menjadi bulan, bulan menjadi tahun. Kami jarang bertemu. Apalagi aku hanya mengurusi urusanku. Mereka, aku tak pernah tahu mereka. Mereka serasa jauh. Sedangkan aku makin menjauh. Aku tak pernah berkumpul lagi dengan mereka. Aku hanya berkumpul dengan kumpulanku dan inilah jalanku, jalan yang naif.
 Selama beberapa tahun, aku merasa ingin mengulang kembali kenangan bersama mereka. Tetapi dimanakah kenangan itu?. Tidak ada. Tidak ada sama sekali. Kepolosan mereka berganti. Dunia sudah berubah menjadi kelabu. Apa yang dulu mereka anggap keji mereka banggakan. Apa yang dulu mereka anggap sesuatu yang menjijikan mereka anggap wajar. Aku tidak bisa menerima itu. Bukan berarti aku akrab dengan kepolosan. Bagiku kepolosan itu tak mengerti apa-apa. Kepolosan itu tidak sama dengan prinsip yang ku pegang. Tetapi sayangya aku memegang prinsip yang salah.
Pada akhirnya kenangan waktu itu tak menjadi apa-apa. Kami tak pernah berfikir sejauh mana kami melangkah. Selepas hari terakhir kami berkumpul di ujung gunung itu, tak ada sisa apa-apa. Kami melupakan matahari , kami melupakan rerumputan,  kami melupakan langit dan yang paling penting kami melupakan kepolosan. Melupakan canda dalam kepolosan. Melupakan kebahagiaan dengan segala ketidak tahuan kami.
 Dunia di sekeliling kami mungkin sudah merenggut kenangan itu dari kami. Merubah kami menjadi seseorang yang lain. Tekanan ekonomi, tekanan sosial, masyarakat yang sakit, frustasi sampai depresi telah membentuk kami menjadi orang yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Waktu telah menjawab semuanya. Mengatakan takdir yang sesungguhnya. Masing-masing dari kami menjadi diri yang berbeda-beda. Ada yang merantau jauh ke luar kota karena ekonomi keluarganya hancur. Ada yang sudah keburu menikah di usia muda. Ada yang sudah tak karuan lagi bagaimana kabarnya. Ada juga yang membuatku kaget dengan profesi yang sedanga ia jalani. Teman dekatku tadi sudah lulus kuliah. Dan Aku?, aku sekarang hanya menjadi seorang Mahasiswa semester 7 yang bodoh.  
Langit, sebenarnya apa yang mereka sedang kerjakan sekarang ?. Seandainya saja kami berkumpul kembali dan bersama-sama membuat mesin waktu. Lalu kami kendarai mesin waktu itu menuju masa itu, di tempat itu. Di ujung gunung ketika kita terakhir tertawa setelah menapaki jalan aspal menanjak yang rontok karena digerogoti laju air hujan. Menemui wajah-wajah lucu kami yang masih polos. Mungkinkah mereka, anak-anak itu  mengenali kami dan banggakah mereka dengan diri kami saat ini?
“PLOOOK, PLOOOK, PLOOOK!!!!!!!!!!!!.” Gumpalan-gumpalan pasir menghantam wajahku. Membawa lamunaku kembali ke dermaga pantai.
“Nglamun aja loe. Cepet photoin kita. Loe kan yang bawa kameranya.”
“Gileeeee, suruh moto malah action sendiri. Mana minta di photoin orang pacaran lagi”
“Hei loe, jangan ganggu orang pacaran. Cepet photoin kita dong”
“Sini biar gue yang moto”. Salah satu teman KKN merebut kamera yang sejak tadi ku pegang. Lantas mendorong tubuhku kencang-kencang ke air.
“BLLLLUUUUUUUURRR!!!!!!”


     Trenggalek, 31 Desember 2013 – 01 Januari 2014

Total Pageviews

Blogroll

© 2008 Blogroll. Adapted to Blogger by Zona Cerebral, design by Arcsin Web Templates.

Blogger news

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Berkawan dengan :