Aku sedang menatap langit dari dermaga
pantai ini. Rasanya seperti bernostalgia pada masa-masa yang telah berlalu. Tak
ada yang terlihat begitu aneh dengan langit. Setiap kali ku tatap sama seperti
biasanya, sama seperti gambaran langit yang lalu, biru seperti laut , penuh dengan goresan
mendung yang tak beraturan dan terkadang mengepul kelabu. Aku mungkin tak
pernah bertanya kepada diriku sendiri sebelumnya, kenapa langit yang begitu apa
adanya dapat mengalihkan pandanganku ?. Bukan masalah jika kodrat si langit
berada di atasku. Bukan masalah juga jika si langit adalah batas pandang
manusia. Tetapi apa?, apa yang membuatnya begitu menarik perhatianku?. Langit,
sekarang engkau bagai menjadi misteri baru bagiku.
Hamparan langit yang penuh misteri
bagai sebuah pita rekaman yang mengabadikan kenangan. Di gunung itu, seperti
yang biasa ku lewati untuk sampai di pantai. Tetapi ini gunung yang lain, yang
tak mungkin terlihat dari sudut manapun dari pantai ini. Masih jelas motif kotak-kotak
baju lusuh yang ku pakai ketika ku kejar teman-temanku yang jauh di depan. Di jalan
aspal menanjak yang rontok karena digerogoti laju air hujan langkahku terasa
begitu berharga, hingga ku dekap pundak salah satu dari mereka.
“Hei tunggu, jangan cepat-cepat”
“Lah kau itu, musti yang paling lambat”. Dia ulurkan tangan
kanannya sambil menarik tanganku yang tadi menempel di pundaknya.
“Tadi aku cuma sempat makan roti
bolang – baling, habis gitu langsung lari ke sekolah bwat ketemu kalian. ”
“Makanya, kalau mau naik gunung makan
malemnya dibanyakin. Sebelum subuh kami sudah menunggumu ki, kamu nongolnya
baru jam 5.”
“Kan harus Sholat dulu”
“Kami nunggu kamu di sekolah sambil
sholat subuh berjama’ah di Mushola. Tapi ya sudahlah, nyampe di sini masih gelap. Dari atas nanti
kita masih bisa lihat matahari terbit.”
Di jalan kami lincah bersenda gurau.
Langkah kami terasa begitu ringan. Tak ada apapun beban yang mengganjal. Aku
melompat kegirangan. Temanku sampai bersalto. Bukan karena tubuh kami waktu itu
masih mungil dan ringan, tetapi mungkin karena kepala kami masih kosong. Tanpa beban
apa pun. Setinggi apapun gunung itu, sejauh apapun langkah yang kami tapaki tak
ada lelah yang begitu berarti. Rasanya seperti bermain seluncuran di taman
sekolah. Meski itu bukan Gunung Bromo, perjalan di gunung waktu itu begitu
menyenangkan. Dalam ketidaktahuan kami merasa merasa memiliki dunia ini. Dalam
ketidaktahuan kami tertawa-tawa.
Lindap cahaya matahari mulai terlihat
dari timur. Langit yang gelap berganti warna menjadi biru tua. Kumpulan gunung
di kejauhan terlihat hitam seperti siluet. Kami tak mau ketinggalan. Kami
berlarian menuju puncak yang lapang di atas sana. Melewati rimbun pepohonan
kami semakin percepat langkah kami. Sinar matahari sudah terlihat menelisik
semak belukar dan barisan bambu yang membentuk garis-garis lurus menyilaukan.
Dan akhirnya.............
“Ha ha ha, kita sampai”
“Belum keitinggalan”
“Matahari, aku sudah siap”
“PR Matematika kemarin belum kita
kerjakan, nanti di kerjakan di rumah Eko ya?”
“Ogah, kan masih lama, hari kamis baru
dikumpulkan”
“Kita hitung yaa!!,
satuuuuuuuuu...........”
Tak ada yang berhenti bersorak
kegirangan. Di tempat lapang itu lelah oleh langkah seperti begitu saja
terganti oleh sejuk yang mengisi dada kami. Seorang teman merebahkan tubuhnya
di atas rumput hijau setinggi lutut yang basah karena embun. Yang lain hanya
duduk dengan kaki terlentang untuk mencegah saluran darah mereka menonjol menjadi
penyakit Parises seperti nasehat Bu Guru kemarin. Aku memilih bersila seperti
seorang Jagoan sakti di TV yang sedang bertapa.
Angin pagi lembut menghempas keringat
kami, mengubah tawa menjadi damai yang berisi keheningan. Wajah-wajah polos itu
sekarang mulai menengadah melihat langit. Langit yang hampir selalu sama ketika
ku pandang seperti langit di pantai saat ini. Pada langit yang tetap membisu
itu mereka bertanya-tanya. Anak-anak lugu yang belum tahu perkara di
sekitarnya, anak-anak yang masih belum
mengerti bagaimana orang tua mereka mencari pinjaman untuk mengisi kantong jajan
mereka dan anak-anak yang belum pernah
bertanya dari mana asal muasal ilmu yang sedang mereka pelajari di sekolah ini
bergumam sendiri-sendiri. Entah sekedar membatin atau sampai terdengar oleh
teman disampingnya. Mungkin waktu itu menurut mereka langit bisa berbahasa dan
langit bisa berpikir untuk menjawab gumaman mereka.
“Rasanya kayak di film-film ya?”
“Iya, kayak di Film india.”
“Bukan, ini seperti tempat bertarung
Power Rangers kemarin.”
“Iya, mirip. Aku juga nonton yang
kemarin”
“Kapan ya kita bisa kumpul lagi kayak
gini?.” Seorang teman disampingku
bertanya dengan pertanyaan yang tak biasa. Seolah-olah kebersamaan ini tak bisa
terulang kembali.
“Alaaaaah, minggu depan nanti juga
masih bisa.” Seorang teman perempuan menjawab.
Seperti yang sudah ku katakan tadi, tak ada sedikit pun beban yang
mereka rasakan sehingga mereka menganggap jika mengulang sebuah pertemuan itu
bukan hal yang mustahil.
“Benar ya, besok kita kumpul lagi.
Sekalian bawa jajanan biar kita betah disini.” Teman yang disampingku tadi
mencoba meyakinkan. Tampaknya dia begitu ragu dengan pertemuannya di waktu yang
akan datang. Aku begitu mengenalnya. Dia teman dekatku dan masih punya hubungan
darah denganku. Dia sama sepertiku, seperti tak ingin melepaskan kebersamaan
ini. Terganti oleh perpisahan.
“Ki, mau nerusin kemana kamu nanti ?”
Teman dekatku itu ganti bertanya kepadaku
“Gak tahu. Masih lama, kita kan masih
kelas lima.”
“Nanti sama aku ya?”
“Ya pastiilah. Kita bakal jadi satu
SMP.” Aku yang polos juga masih berkata dengan mudahnya waktu itu. Dan mulai
saat itulah aku menyukai langit. Langit bagiku seperti kekuatan baru. Dari mana
si Langit memberiku kekuatan? Aku tak pernah tahu. Jika aku menginginkan kekuatan
langit, aku tinggal memandangnya saja.
“Apa itu yang di plastik hitam?:” Aku
melihat seorang temanku mengeluarkan bungkusan dari tasnya.
“Ini titipan dari si mbah. Bwat
camilan katanya.” Dia menyodorkan bungkusan yang ternyata berisi buah salak itu
ke tengah kerumunan.
“yesssss......., mbok gitu. Lain kali
bawa yang banyak ya. ”
“Udah di beri masih minta nambah.”
“hahahahahahahahahahahahahahaha”
Diselingi suara-suara kicauan burung
yang bebas mengepakan sayapnya seperti halnya kami yang bebas bagai burung, kami
tertawa kegirangan. Kami merasa seperti inilah hidup. Seperti inilah selayaknya
semua anak di ujung dunia manapun. Seperti nasihat Guru-guru kami yang
menjadikan kami anak yang baik dan yang tidak sesuai dengan nasihatnya kami
anggap jelek. Ketika waktu berganti, selamanya kami akan tetap seperti ini.
Kami menganggap bahwa dunia ini hanya berupa hitam dan putih. Tidak ada dunia
yang kelabu. Kami tidak pernah tahu bagaimana kerumitan dalam hidup yang mungkin
suatu saat nanti akan merubah kami menjadi seseorang yang berbeda. Menjadikan
kami seseorang yang tak pernah terfikirkan sekarang, di tempat ini, di ujung
gunung ini. Kami tidak pernah tahu bagaimana jalan masing-masing yang akan kami
tapaki. Mungkin saja seperti jalan menuju ujung gunung ini. Begitu terjal,
begitu indah, begitu kami nikmati. Tetapi jalan itu mungkin jalan yang lain dan
itu mungkin bukan jalan menuju ujung gunung ini. Mungkin jalan itu menuju
tempat yang lain yang saat itu sedang kami anggap tempat yang salah bahkan tempat
yang menjijikan sekalipun.
Aku juga masih naif. Ku kira semuanya
tetap akan sama, tetap ada pundak yang bisa kuraih dan seseorang mengulurkan
tangannya kepadaku. Selalu terbayang mereka akan di sampingku. Bersama-sama
mendaki gunung yang sama pada jalan yang sama pula. Saat itu kubayangkan mereka
dengan seragam SMA dan tampang mereka yang sudah tidak lucu lagi akan kembali
menatap langit dan bertanya lagi “Kapan
ya kita bisa kumpul lagi kayak gini?”. Dan mereka serempak menjawabnya
“besooooook saja!!!”.
Langit berubah. Mendung terkumpul
tepat diatas kami. Entah apakah begini cara langit berbahasa. Apakah dengan ini
langit menjawab pertanyaan kami yang sesungguhnya tak pernah terjawab. Kami
lanjut membersihkan baju kami yang dipenuhi oleh rerumputan dan tanah di bawah
kami. Lalu kami putuskan untuk turun dari gunung itu. Di jalan kami berpisah
menuju rumah masing-masing.
Aku tak pernah menyangka akan terus mengingat
kenangan itu karena aku tak tahu jika itu adalah kenangan indah terakhir yang
pernah kami buat sebagai anak yang masih polos. Kenangan yang kami buat tanpa niat untuk mengabadikannya dengan
kamera. Gambar-gambar tentang kebersamaan itu kami biarkan berterbangan sampai kemanapun
dan tak pernah kembali.
Selang satu tahun acara perpisahan pun
digelar. Seseorang dari kami mengisi lagu. Aku lupa apa judulnya. Dengan lagu
itu semua anak sekelas menangis, termasuk aku. Seperti semua tak akan bertemu
lagi saja. Bodoh sekali jika aku ikut menangis. Mereka kan sudah berjanji akan
berkumpul lagi. Tapi mungkinkah itu?
Hari menjadi bulan, bulan menjadi
tahun. Kami jarang bertemu. Apalagi aku hanya mengurusi urusanku. Mereka, aku
tak pernah tahu mereka. Mereka serasa jauh. Sedangkan aku makin menjauh. Aku
tak pernah berkumpul lagi dengan mereka. Aku hanya berkumpul dengan kumpulanku
dan inilah jalanku, jalan yang naif.
Selama beberapa tahun, aku merasa ingin
mengulang kembali kenangan bersama mereka. Tetapi dimanakah kenangan itu?. Tidak
ada. Tidak ada sama sekali. Kepolosan mereka berganti. Dunia sudah berubah
menjadi kelabu. Apa yang dulu mereka anggap keji mereka banggakan. Apa yang
dulu mereka anggap sesuatu yang menjijikan mereka anggap wajar. Aku tidak bisa
menerima itu. Bukan berarti aku akrab dengan kepolosan. Bagiku kepolosan itu
tak mengerti apa-apa. Kepolosan itu tidak sama dengan prinsip yang ku pegang.
Tetapi sayangya aku memegang prinsip yang salah.
Pada akhirnya kenangan waktu itu tak
menjadi apa-apa. Kami tak pernah berfikir sejauh mana kami melangkah. Selepas
hari terakhir kami berkumpul di ujung gunung itu, tak ada sisa apa-apa. Kami
melupakan matahari , kami melupakan rerumputan, kami melupakan langit dan yang paling penting
kami melupakan kepolosan. Melupakan canda dalam kepolosan. Melupakan
kebahagiaan dengan segala ketidak tahuan kami.
Dunia di sekeliling kami mungkin sudah
merenggut kenangan itu dari kami. Merubah kami menjadi seseorang yang lain. Tekanan
ekonomi, tekanan sosial, masyarakat yang sakit, frustasi sampai depresi telah
membentuk kami menjadi orang yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Waktu
telah menjawab semuanya. Mengatakan takdir yang sesungguhnya. Masing-masing
dari kami menjadi diri yang berbeda-beda. Ada yang merantau jauh ke luar kota
karena ekonomi keluarganya hancur. Ada yang sudah keburu menikah di usia muda. Ada
yang sudah tak karuan lagi bagaimana kabarnya. Ada juga yang membuatku kaget
dengan profesi yang sedanga ia jalani. Teman dekatku tadi sudah lulus kuliah. Dan
Aku?, aku sekarang hanya menjadi seorang Mahasiswa semester 7 yang bodoh.
Langit, sebenarnya apa yang mereka
sedang kerjakan sekarang ?. Seandainya saja kami berkumpul kembali dan
bersama-sama membuat mesin waktu. Lalu kami kendarai mesin waktu itu menuju
masa itu, di tempat itu. Di ujung gunung ketika kita terakhir tertawa setelah
menapaki jalan aspal menanjak yang rontok karena digerogoti laju air hujan. Menemui
wajah-wajah lucu kami yang masih polos. Mungkinkah mereka, anak-anak itu mengenali kami dan banggakah mereka dengan
diri kami saat ini?
“PLOOOK, PLOOOK, PLOOOK!!!!!!!!!!!!.”
Gumpalan-gumpalan pasir menghantam wajahku. Membawa lamunaku kembali ke dermaga
pantai.
“Nglamun aja loe. Cepet photoin kita.
Loe kan yang bawa kameranya.”
“Gileeeee, suruh moto malah action
sendiri. Mana minta di photoin orang pacaran lagi”
“Hei loe, jangan ganggu orang pacaran.
Cepet photoin kita dong”
“Sini biar gue yang moto”. Salah satu
teman KKN merebut kamera yang sejak tadi ku pegang. Lantas mendorong tubuhku kencang-kencang
ke air.
“BLLLLUUUUUUUURRR!!!!!!”
Trenggalek, 31 Desember 2013 – 01
Januari 2014